IGD

Nana
3 min readDec 7, 2023

--

Pukul 18.30

Zhang Hao yang baru saja tersadar, masih dalam posisi berbaring di kasur IGD, sang suami, Hanbin, masih berada di sebelahnya, menunggunya sampai tertidur dengan beralaskan tangan sebelah kanan nya. Tangan kiri Hanbin menggengam erat tangan kanan milik Zhang Hao.

Zhang Hao ingin sekali rasanya menangis, rasanya ia ingin menyerah menahan air matanya yang sudah menumpuk di bagian terujung bulu mata bawah nya — sekali berkedip, air mata ini pasti sudah turun. Zhang Hao berusaha sekuat tenaga agar tidak berkedip, atau membuat air mata itu turun.

Beberapa detik kemudian, air mata nya terjatuh. Nafasnya terisak. Zhang Hao berusaha menahan suara tangisannya dengan tangan kiri nya yang saat ini tersambung dengan alat infus.

Bagaimana bisa ia mendapatkan pasangan se-sempurna Sung Hanbin? Bahkan dengan jelas Hanbin tau, bahwa ia pernah menyakitinya dahulu sebelum pernikahan.

Tangisan Zhang Hao semakin deras, suara isak tangis pun semakin kencang dan terdengar oleh suaminya Hanbin — yang pada akhirnya membuat Hanbin terbangun dari tidurnya. Hanbin mendongakkan kepalanya, dan melihat Zhang Hao dengan wajah penuh air mata.

“Sayang udah bangun? Hei, kenapa nangis?” tanya Hanbin.

Kata demi kata yang keluar dari mulut Hanbin entah mengapa justru semakin membuat hati Zhang Hao semakin sakit dan pedih.

“Maaf….” ucap Zhang Hao.

“Maaf kenapa?” tanya Hanbin.

Zhang Hao menelan ludahnya. Ia paling tidak suka mendegar kata ‘kenapa’ keluar dari mulut Hanbin.

“Bisa jelasin ke aku chat dari bunda sama ayah maksud nya apa? Tadi bu Kim juga bilang beberapa hari ini kamu beda di kantor. Ada yang bisa kamu jelasin sekarang?”

Zhang Hao diam. Bibirnya kelu. Dia tahu dia salah, tapi tidak dapat menjawab pertanyaan dari suaminya.

“Kenapa gak dijawab?” tanya Hanbin sekali lagi dengan penekanan di kata ‘kenapa’.

Zhang Hao menghela nafas dalam-dalam. Berusaha mengumpulkan keberaniannya meskipun rasanya saat ini ia ingin bersembunyi di balik kamar mandi seperti yang ia lakukan sebelumnya di rumah temannya.

“Maaf, mas. Ayah sama Bunda beberapa kali masih minta uang tambahan, diluar uang yang aku kasih tiap bulannya. Uang dinas ku yang kemarin juga dibatalin meskipun udah keluar uang transport. Aku ngirit gak makan siang di kantor, sampai akhirnya ternyata aku gak kuat. Maaf…” ucap Zhang Hao dengan sekuat tenaga menahan tangisannya keluar lagi.

“Mas, aku bukannya gak mau jujur. Tapi aku gak mau ngerepotin kamu, keluarga ku udah terlalu sering nyusahin kamu. Makanya aku diam. Tolong jangan salah paham,” lanjut Zhang Hao.

Hanbin yang mendengar semua ini berusaha menahan emosi nya agar tidak keluar sekarang. Menarik nafasnya dalam-dalam. Kepalanya mendadak pening.

Hanbin mengeluarkan ponsel nya, mengetik beberapa huruf untuk mencari kontak seseorang yang ingin ia hubungi. Menunggu beberapa detik sampai orang yang dimaksud menjawab, dan berkata…

Halo, Ayah, maaf telpon mendadak, tapi besok Hanbin izin titip Hao beberapa hari di rumah Ayah. Hao tadi pingsan, sekarang di rumah sakit, tapi kata dokter nanti malam sudah boleh pulang. Besok pagi Hanbin antar Hao ke rumah Ayah ya… Iya, yah. Maafin Hanbin ya mendadak. Makasih, Ayah.

Zhang Hao rasanya ingin pingsan lagi saat ini.

“Ayo beres-beres sekarang, dokter bilang kamu kurang makan, makanya kambuh gerd nya, besok pagi aku antar ke rumah Ayah. Kamu disana dulu beberapa hari, nanti aku jemput.”

Zhang Hao hanya bisa mengikuti keinginan suaminya saat ini. Ia juga tidak bisa melawan apapun lagi. Zhang Hao jelas salah, dan ia juga tahu itu.

--

--

Nana
Nana

Written by Nana

writing acc - binhao/binneul

No responses yet